Sekarang
pukul 09.40, jam perkuliahan pun berakhir. Aku berjalan meninggalkan ruangan
kelas dan bergegas menemui Putri. Putri adalah teman dekatku sejak aku
menginjak bangku kuliah. Tapi, diam-diam aku jatuh cinta kepada Putri, karena
orangnya cantik, asik, perhatian dan baik hati.
“Bagaimana
kuliahmu hari ini Put…?”, tanyaku dengan tawa kecil.
“Arrrghh,
membosankan. Sangaaaat membosankan”, jawabnya dengan sedikit emosi.
Akupun
tertawa dan kembali bertanya, “memangnya kenapa?”
“Dasar
dosen sialan, minggu kemaren katanya kita nggak ada tugas, eh taunya tadi
anak-anak pada ngumpulin tugas semua. Ibu kan udah ngasih tau sama ketua kelas
kalian tiga hari yang lalu…”, ungkap Putri sambil menirukan gaya dosennya.
“Hehehe,
itu biasa Put. Kita pergi makan yuk, pasti kamu belum sarapan kan?”, tanyaku
seraya membujuk Putri.
“Hmmm,
yuk”, sahut Putri.
Aku
dan Putri pergi ke tempat kami biasa makan, yang tak jauh dari gedung
perkuliahanku. Saat makan, ku selalu melihat kearah Putri. Parasnya nan elok
membuatku tak pernah bosan memandangnya. Sekali-sekali tatapanku beradu dengan
tatapan matanya. Akupun hanya bisa tersenyum, begitu juga dengan Putri yang
selalu membalas senyumku. Dalam hati ku bergumam “ Putri, kau tampak sangat
cantik. Meski suasana hatimu sedang kacau, tapi tetap saja wajahmu memancarkan
sinar yang istimewa di hatiku. Putri, kenapa selama ini aku harus
menyembunyikan perasaannku. Kenapa selama ini aku harus mengatasnamakan diriku
sebagai orang lain. Kenapa selama ini aku membohongi perasaanku sendiri. Sampai
kapankah ku harus seperti ini. Ku
mencintaimu Putri, tapi ku tak mampu untuk mengungkapkannya, karena ku tak
ingin persahabatan kita selama ini menjadi rusak. Andai aku pria lain, mungkin
aku akan lebih leluasa menyampaikan perasaanku ini”.
“Ron…Roni…”,
pangil Putri sambil melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Ehmm,
iya Put, ada apa?”, jawabku sedikit kaget.
“Kamu
kenapa, kok melamun?”, tanyanya ingin tahu.
“Nggak
Put, lagi ingat sesuatu, hehhehhe”, elakku.
Kami
kembali melanjutkan memakan makanan yang berada di hadapan masing-masing.
Setelah selesai makan, kami melanjutkan cerita tentang sesorang pria yang
pernah aku ceritakan sebelum-sebelumnya.
“Put,
pria yang kemaren aku ceritain udah ngajak kamu ketemuan”, tanyaku pura-pura
tidak tahu.
“Belum
Ron, padahal aku ingiiiin sekali ketemu sama dia, seandainya aku bisa berada
disampingnya setiap saat, mungkin aku adalah wanita yang paling beruntung di
jagad raya ini”, jawabnya penuh harap.
Mendengar
jawaban Putri, perasaanku sangat senang. Namun perasaan ini juga diiringi rasa
sedih. Bagaimana tidak, pria yang selama ini aku ceritakan kepada Putri adalah
diriku sendiri. Tapi aku tak berani muncul dihadapannya sebagai pria tersebut.
Aku selalu tampil menjadi diri orang lain. Padahal banyak kesempatan untuk menyatakan
cintaku padanya, tapi aku tak ingin jika nanti ia harus kecewa dengan apa yang
kurasakan saat ini.
“Hmmm,
semoga saja ia akan menemuimu secepatnya ya Put” jawabku menguatkan Putri.
“Aku
harap juga begitu”, sahutnya sambil menghela nafas panjang.
“Haduuhh,,,”,
tiba-tiba Putri kaget saat melihat jam tangannya.
“Kenapa
Put”, tanyaku ingin tahu.
“Aku
harus pulang Ron, tadi ada janji dengan mama mau ke pasar membeli tas”,
jawabnya gelisah.
“Kalau
begitu, biar aku yang ngantarin kamu pulang ya”, pintaku sambil mengambil uang
dari dompet.
“Iya
Ron, nggak apa-apa”, jawab Putri.
***
“Ron,
makasih dah ngantarin aku pulang”, kata Putri.
“Ya
Put, sama-sama”, balasku.
“Oh ya,
besok kita ketemuan lagi ya di tempat biasa”, pinta Putri.
“Okey
Put”, jawabku dengan santai.
***
Kini
ku berbaring menghadap langit-langit kamarku. Yang ada di dalam benakku
hanyalah Putri, Putri, dan Putri. Ku menyesali sikap ku selama ini terhadap
Putri, kenapa aku tidak berterus terang saja, bahwa Pria yang aku ceritakan
selama ini tak lain adalah aku sendiri. Tapi kucoba untuk menenangkan diri ini,
“Ahhh, pasti suatu saat nanti ku bisa mengungkapkannya, dan ia akan tahu siapa
pria itu sebenarnya. Biarkan cinta ini mekar pada waktunya”, ungkapku menyudahi
penyesalan itu.
***
Sinar
matahari mulai masuk dari balik jendela kamarku. Badan mulai terasa gerah
berada di bawah selimut yang tebal. Kusingkapkan selimut yang menyelimuti
tubuhku dan bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap menuju kampus.
Hari
ini sebenarnya aku tidak ada kelas, tapi karena ada janji dengan Putri, aku
harus bangun pagi, meski sedikit kesiangan. Cinta yang bersemai dalam hatiku,
membuatku harus rela melakukan apa saja yang bisa membuat hati Putri bahagia.
Entah kenapa, mungkin karena perasaan ini juga, setiap melakukan suatu hal yang
berkaitan dengan Putri, pasti aku melakukannya dengan ikhlas.
Kuhidupkan
motor bututku, dan kutunggu beberapa menit supaya mesinnya panas. “And now, time to go to campus, iiiiiihhaaa”, ungkapku senangnya bukan
main.
***
Dua
jam sudah aku menunggu Putri, namun ia belum juga datang. Aku kirim pesan tak
ada balasannya, aku telfon, nggak ada yang mengangkat. Awalnya aku tetap
berfikiran bahwa Putri akan datang, karena selama ini Putri tidak pernah ingkar
janji setiap kali membuat janji denganku. Tapi, akhirnya aku berfikir lain,
mungkin ada suatu hal yang terjadi pada Putri sehingga ia tidak kunjung datang.
Kuberanikan
diri untuk datang langsung ke rumah Putri agar tahu bagaimana keadaan Putri
yang sebenarnya. Sesampai di rumah Putri, ku ketuk pintunya sembari memanggil
Putri, namun tak seorangpun yang membalas panggilanku. Perasaanku mulai tak
enak, aku berfikiran ada hal buruk yang
menimpa diri Putri.
Benar
saja apa yang aku fikirkan, tiba-tiba salah seorang tetangga Putri memanggilku
dan memberitahu kalau Putri kecelakaan ditabrak mobil. Sontak aku terkejut dan
langsung bertanya, “Ia dirawat di Rumah Sakit mana bu?”
“Kalau
tidak salah, tadi keluarganya bilang dibawa ke Rumah Sakit yang di depan ini
dek”, jawab ibu itu.
Tanpa
pikir panjang, aku langsung pergi ke rumah sakit itu dan menanyakan ruangan
tempat Putri di rawat kepada suster yang sedang piket. Setelah tahu Putri
dirawat di ruang UGD, aku berlari menuju ruangan itu dan mencoba untuk masuk.
Namun aku tidak diizinkan untuk masuk dan terpaksa menunggu di ruang tunggu.
Ternyata
di ruang tunggu juga ada orang tua Putri, aku kemudian bersalaman dan
menanyakan keadaan Putri.
“Bagaimana
keadaan Putri Om?” tanyaku ingin tahu.
“Sekarang
Putri masih dalam penanganan dokter, tulang punggung dan tulang paha bagian
kirinya patah, di bagian kepala mengeluarkan darah”, jawab papa Putri terisak
menahan tangis.
Akupun
tak kuasa menahan air mata, mendengar penjelasan dari papanya Putri. Di dalam
hati aku berdo’a “Ya Allah, selamatkanlah Putri dari semua ini, berikanlah
kekuatan kepada Putri dan keluarganya melalui musibah ini”.
Selang
beberapa menit, keluarlah dokter dari ruangan UGD tersebut, dan memanggil orang
tua Putri. Dari kejauhan aku melihat mereka sedang berbicara dengan sangat serius.
Perasaanku mulai tak tenang dengan keadaan Putri, aku mulai memikirkan hal
terburuk yang akan terjadi pada Putri, dan air mata ku pun mengalir semakin
deras.
Rasa
ingin tahu yang besar, mendorongku untuk bertanya lagi kepada orangtua putri.
“Sekarang bagaimana keadaannya Om”, tanyaku.
“Sebentar
lagi akan dilakukan operasi”, jawab papa Putri singkat.
Aku
terdiam dan hanya berharap semoga itu adalah jalan terbaik bagi Putri dan ia
bisa kembali seperti dulu lagi.
***
***
Dua
jam berselang, operasi pun selesai. Terlihat seorang dokter keluar dari ruang
operasi dan orang tua Putri langsung menanyakan keadaan anaknya.
“Bagaimana
keadaan anak saya Dok?”, tanya beliau.
“Alhamdulillah,
operasi berjalan dengan lancar dan sekarang kondisi putri bapak sudah mulai
membaik”, jawab dokter itu dengan ekspresi bahagia.
“Alhamdulillah”,
ucapku serentak dengan orangtua Putri.
Kami kemudian
diizinkan untuk melihat Putri ke dalam ruang operasi tersebut. Kuhanya bisa
melihat Putri terbaring lemas, dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Waktu
itu, putri belum boleh banyak bicara, tapi aku mencoba memberi Putri semangat untuk bisa sabar melalui semua ini.
“Put,
kamu yang tabah ya, dan kamu harus yakin kalau kamu akan sembuh seperti dulu
lagi”, ungkapku menguatkan Putri. Putri hanya membalas perkataanku dengan
senyuman kecil dari bibir mungilnya.
“Ron,
terima kasih selama ini kamu telah menjadi teman dekat Putri, bahkan om sendiri
telah menganggap kamu sebagai anak om sendiri”, ucap papa Putri sambil
merangkulku. Aku sangat terkejut mendengar perkataan itu, dan hanya bisa
berkata, “Iya om”. Sementara mama Putri terus menggenggam tangan anaknya
tersebut.
Keadaan
Putri sudah lebih baik dari sebelumnya, aku bermaksud hendak pulang mengganti
pakaian. Aku minta izin kepada kedua orangtua Putri, dan tak lupa kepada Putri
sendiri. Seperti tadi, Putri tetap membalas setiap perkataanku dengan senyumnya
yang tulus.
Aku
melangkah meninggalkan ruangan itu dengan berat hati. Karena, meskipun keadaan
Putri sekarang sudah lebih baik, tapi tetap saja aku tak bisa tenang dengan
keadaan ini. Benar saja apa firasatku, baru saja ku berjalan meniggalkan
ruangan itu aku, terdengar suara Om Hendri papanya Putri memanggilku.
“Ron…!”,
panggilnya dengan suara lantang.
Aku
segera berbalik dan menyahut, “ya om, ada apa?
“Jangan
pulang dulu Ron, Putri memanggil-manggil nama kamu Ron”, ungkapnya sedih.
Mendengar
itu, aku langsung berlari ke ruangan Putri tadi, dan melihat Putri menangis.
Meskipun tidak boleh terlalu banyak bergerak, namun ia mencoba untuk menggapai
tanganku dan menyuruhku untuk sedikit membungkuk. Didekatkannya kepalaku ke
mulutnya dan pada saat itu dia bisikan sebuah kalimat singkat.
“Jangan
tinggalkan aku ron, aku butuh kamu”, ungkapnya lemas.
Aku
tersentak dan air mata keluar dengan deras. “Aku akan selalu ada bersamamu Put,
kamu jangan khawatir,”ungkapku menghapus kesedihan Putri.
Kemudian
yang membuatku lebih kaget lagi saat Putri menanyakan perasaaanku, “Apa yang
kamu rasakan saat menjalani hari-hari bersamaku Ron”.
“Aku
se..senang Put, aku bahagia bisa kenal denganmu. Hari-hari ku, semua ku lalui
dengan penuh warna,” jawabku sedikit terbata.
“Kamu kenapa
bertanya begitu Put”, aku berbalik bertanya.
“Nggak
Ron, aku cuma ingin tahu aja, aku tidak ingin keberadaanku mebuat orang lain
menjadi resah, terganggu dan aku tidak ingin menjadi beban bagi orang lain”,
ungkapnya dengan tangisan.
“Put,
aku tidak pernah berfikiran selama ini kalau kamu itu membuat aku resah,
membuatku terganggu, apalagi beban dalam hidupku. Aku tidak pernah berfikir
seperti itu Put, karena….”, jawabku.
Putri
pun langsung menyela pembicaraanku yang belum aku selesaikan. “Karena apa Ron”,
tanyanya,
Orang
tua Putri mulai melihat kepadaku dan berharap aku bisa berkat sejujurnya
tentang pa yang aku rasakan. Aku bingung harus berbicara apa, karena ku takut
Putri kecewa dengan apa yang akan aku ungkapkan. Tapi, untuk saat ini aku tidak
mau lagi bohong dengan perasaanku. Kembali ku dekati telinga Putri, dan pada
saat itu aku bisikkan bahwa aku selama ini mencintai Putri.
“Put,
sebenarnya selama ini aku sangat mencintaimu. Laki-laki yang selama ini aku
ceritakan kepadamu tak lain adalah aku sendiri. Aku tak mampu untuk jujur
kepadamu selama ini, karena ku tak ingin kamu kecewa dengan perasaanku ini”,
ungkapku sambil mengenggam tangannya.
Putri
menatapku sangat lama sekali, di dalam
hati aku berfikir bahwa Putri sangat marah kepadaku. Aku tak berani melihat tatapan
Putri karena aku merasa bersalah dengan perasaan yang kumiliki. Kemudian Putri
melihat ke arah orang tuanya, dan salah satu dari mereka yaitu mama Putri mulai
mendekatiku. Hatiku semakin berkat lain, apakah semua orang yang berada di sini
mulai tidak menginginkan keberaaanku.
“Ron,
selama ini Putri sering bercerita dengan tante, bahwa ia juga mencintaimu Ron,
ungkap mama Putri sembari meraih tanganku.
Sungguh
terkejut aku sat itu, kaki ku gemetaran dan tak kuasa ku menahan tangis. “Sungguh
tante, apakah tante tidak main-main?, tanyaku meyakinkan tante Sil, mama Putri.
“Tante
tidak bercanda Ron, coba saja kamu tanyakan sama Putri”, sahutnya melihat ke
arah Putri.
“Apa
benar yang diucapkan mama kamu Put?”,
tanyaku ingin tahu.
Putri
pun hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku. Melihat anggukan itu, aku
sangat bahagia, hatiku berbunga-bunga. Ternyata apa yang kurasakan selama ini,
juga dirasakan oleh Putri. Ternyata ketakutanku selama ini, hanyalah fatmorgana
dalam hidupku. Aku tak mampu mengungapkan bagaimana perasaan bahagia yang
kumiliki saat itu, karena secara langsung kedua orang tua Putri merestui
hubungan kami.
Namun tiba-tiba,
kebahagiaan itu kembali memudar saat Putri merintih kesakitan. Ia memegang
kepalanya yang sedang dibalut dengan perban.
“Kamu
kenapa Put”, tanyaku dengan cemas.
“Kepalaku
serasa mau pecah Ron, kepala bagian belakangku sakit”, ungkapnya menahan rasa
sakit.
Spontan,
papa Putri langsung memanggil dokter. Di saat itu, putri mengenggam tanganku
dan kembali berbisik di telingaku, “Aku sangat mencintaimu Ron, namamu akan
slalu hadir dalam hatiku, menemani setiap perjalanan hidupku”.
Aku
membalas bisikan itu, “Aku juga mencintaimu Put, lebih dari yang kamu tahu.
Mungkin slama ini kamu tidak mengetahui, tapi kini cintaku telah bersamamu”.
Putri
pun tersenyum mendengar perkataan itu. Aku juga tersenyum melihat senyum putri,
seakan Putri aka sehat seperti sedia kala.
Tiba-tiba,
suasana kembali diselimuti kecemasan. Saat putri menangis menahan sakit di kepalanya. Papa putri
pun belum jua kembali memanggil dokter yang bersangkutan. Alhasil, Putri tak
lagi bersuara, tangisnya terhenti, dan kini ia terkulai lemah tak bernyawa di
sampingku. Putri kembali menghadap Yang Kuasa, dan meninggalkanku untuk
selamanya.
“Putriiiiiiiiiiiiiiiiii…!!!”,
teriakku ku tak terima dengan kepergian Putri.
Begitu
juga dengan mama Putri, beliau sangat histeris dan sangat tidak bisa menerima hal
ini terjadi pada anaknya. Selang beberapa menit, papa putrid datang dengan
seorang dokter. Melihat kami sedang menangis, papa Putri langsung menghampiri
tante Sil, “Kenapa ma”, tanyanya. “Putri pa, Putri telah meninggalkan kita
semua”, ungkpanya dengan penuh kesedihan. Om Hendri pun mengamuk melihat
keadaan ini. Beliau memaki-maki dokter yang susah untuk ditemui.
“Sudah
pa, ini semua sudah terjadi”, ucap tante Sil menenangkan Om Hendri.
Om
Hendri menghampiri Putri dan mengusap wajah anaknya nan cantik. “Putri, kenapa
kamu tinggalkan papa sama mama nak?”, tanya Om Hendri seakan pertanyaannya akan
mendapat jawaban.
***
Proses
pemakaman Putri berlangsung dengan suasana penuh haru. Orang-orang yang selama
ini bersama Putri sangat merasa kehilangan, termasuk aku yang merasa kehilangan
hal terindah yang pernah singgah dalam hidupku. Tak seorangpu yang tidak
mengeluarkan air mata, begitu pahit melepas kepergian Putri untuk selamanya. “Selamat
jalan Putri, semoga jalanmu terang di alam sana”.
***
Kini
kulalui hari-hariku tanpa Putri. Sedih memang kehilangan orang yang dicintai,
tapi mau bagaimana lagi, ini sudah takdir dari Tuhan, mempertemukan cintaku
dengan Putri, saat ia harus kembali kepada-Nya. Dalam diam ku berkata, ”Memilikimu
beberapa saat kebahagiaan tersendiri bagiku, meskipun ku tak mampu merajut kebahagiaan
bersamamu dalam ikatan cinta. Kamu adalah hal terindah dalam hidupku, yang tak
kan pernah kulupakan. Aku bersyukur bisa memilikimu, dalam perintihan
terakhirmu kau bisikan kata
indah di telingaku bahwa namaku akan slalu ada di hatimu menemani setiap
perjalanan hidupmu”.
***
By.Rahmat Ilham
hmm... kerenn bget cerpennya.. bikin terharu+merinding bacanya..
BalasHapussLamat buatt caam... sukses terus y bro ^^
by. adiella efz
Makasih la dah baca cerpen caam,,
BalasHapusmaksih juga motivasinya..
heehehe...
bgus ceritanya bg... tapi kepanjangan pegel bacanya... knp ga bikin part 1 part 2 gt..
BalasHapushehehe,,
BalasHapusmksih dah bca Maisya Yetti...
hmmm, mksih srannya,, smoga bs dperbaiki untuk selanjutnya,,
hhehehe..
:)
bagus... tapi revisinya mesti lebih teliti lagi.. beberapa ketikan ada kesalahan kecilnya, and bahasanya sedikit diperlues biar lebih santai.. ^_^
BalasHapusthx masukannya...
BalasHapus:)