Senin, 09 Juli 2012

Pengakuan yang Terlambat


Sekarang pukul 09.40, jam perkuliahan pun berakhir. Aku berjalan meninggalkan ruangan kelas dan bergegas menemui Putri. Putri adalah teman dekatku sejak aku menginjak bangku kuliah. Tapi, diam-diam aku jatuh cinta kepada Putri, karena orangnya cantik, asik, perhatian dan baik hati.
“Bagaimana kuliahmu hari ini Put…?”, tanyaku dengan tawa kecil.
“Arrrghh, membosankan. Sangaaaat membosankan”, jawabnya dengan sedikit emosi.
Akupun tertawa dan kembali bertanya, “memangnya kenapa?”
“Dasar dosen sialan, minggu kemaren katanya kita nggak ada tugas, eh taunya tadi anak-anak pada ngumpulin tugas semua. Ibu kan udah ngasih tau sama ketua kelas kalian tiga hari yang lalu…”, ungkap Putri sambil menirukan gaya dosennya.
“Hehehe, itu biasa Put. Kita pergi makan yuk, pasti kamu belum sarapan kan?”, tanyaku seraya membujuk Putri.
“Hmmm, yuk”, sahut Putri.
Aku dan Putri pergi ke tempat kami biasa makan, yang tak jauh dari gedung perkuliahanku. Saat makan, ku selalu melihat kearah Putri. Parasnya nan elok membuatku tak pernah bosan memandangnya. Sekali-sekali tatapanku beradu dengan tatapan matanya. Akupun hanya bisa tersenyum, begitu juga dengan Putri yang selalu membalas senyumku. Dalam hati ku bergumam “ Putri, kau tampak sangat cantik. Meski suasana hatimu sedang kacau, tapi tetap saja wajahmu memancarkan sinar yang istimewa di hatiku. Putri, kenapa selama ini aku harus menyembunyikan perasaannku. Kenapa selama ini aku harus mengatasnamakan diriku sebagai orang lain. Kenapa selama ini aku membohongi perasaanku sendiri. Sampai kapankah ku harus seperti ini.  Ku mencintaimu Putri, tapi ku tak mampu untuk mengungkapkannya, karena ku tak ingin persahabatan kita selama ini menjadi rusak. Andai aku pria lain, mungkin aku akan lebih leluasa menyampaikan perasaanku ini”.
“Ron…Roni…”, pangil Putri sambil melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Ehmm, iya Put, ada apa?”, jawabku sedikit kaget.
“Kamu kenapa, kok melamun?”, tanyanya ingin tahu.
“Nggak Put, lagi ingat sesuatu, hehhehhe”, elakku.
Kami kembali melanjutkan memakan makanan yang berada di hadapan masing-masing. Setelah selesai makan, kami melanjutkan cerita tentang sesorang pria yang pernah aku ceritakan sebelum-sebelumnya.
“Put, pria yang kemaren aku ceritain udah ngajak kamu ketemuan”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Belum Ron, padahal aku ingiiiin sekali ketemu sama dia, seandainya aku bisa berada disampingnya setiap saat, mungkin aku adalah wanita yang paling beruntung di jagad raya ini”, jawabnya penuh harap.
Mendengar jawaban Putri, perasaanku sangat senang. Namun perasaan ini juga diiringi rasa sedih. Bagaimana tidak, pria yang selama ini aku ceritakan kepada Putri adalah diriku sendiri. Tapi aku tak berani muncul dihadapannya sebagai pria tersebut. Aku selalu tampil menjadi diri orang lain. Padahal banyak kesempatan untuk menyatakan cintaku padanya, tapi aku tak ingin jika nanti ia harus kecewa dengan apa yang kurasakan saat ini.
“Hmmm, semoga saja ia akan menemuimu secepatnya ya Put” jawabku menguatkan Putri.
“Aku harap juga begitu”, sahutnya sambil menghela nafas panjang.
“Haduuhh,,,”, tiba-tiba Putri kaget saat melihat jam tangannya.
“Kenapa Put”, tanyaku ingin tahu.
“Aku harus pulang Ron, tadi ada janji dengan mama mau ke pasar membeli tas”, jawabnya gelisah.
“Kalau begitu, biar aku yang ngantarin kamu pulang ya”, pintaku sambil mengambil uang dari dompet.
“Iya Ron, nggak apa-apa”, jawab Putri.

***

“Ron, makasih dah ngantarin aku pulang”, kata Putri.
“Ya Put, sama-sama”, balasku.
“Oh ya, besok kita ketemuan lagi ya di tempat biasa”, pinta Putri.
“Okey Put”, jawabku dengan santai.

***

Kini ku berbaring menghadap langit-langit kamarku. Yang ada di dalam benakku hanyalah Putri, Putri, dan Putri. Ku menyesali sikap ku selama ini terhadap Putri, kenapa aku tidak berterus terang saja, bahwa Pria yang aku ceritakan selama ini tak lain adalah aku sendiri. Tapi kucoba untuk menenangkan diri ini, “Ahhh, pasti suatu saat nanti ku bisa mengungkapkannya, dan ia akan tahu siapa pria itu sebenarnya. Biarkan cinta ini mekar pada waktunya”, ungkapku menyudahi penyesalan itu.

***

Sinar matahari mulai masuk dari balik jendela kamarku. Badan mulai terasa gerah berada di bawah selimut yang tebal. Kusingkapkan selimut yang menyelimuti tubuhku dan bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap menuju kampus.
Hari ini sebenarnya aku tidak ada kelas, tapi karena ada janji dengan Putri, aku harus bangun pagi, meski sedikit kesiangan. Cinta yang bersemai dalam hatiku, membuatku harus rela melakukan apa saja yang bisa membuat hati Putri bahagia. Entah kenapa, mungkin karena perasaan ini juga, setiap melakukan suatu hal yang berkaitan dengan Putri, pasti aku melakukannya dengan ikhlas.
Kuhidupkan motor bututku, dan kutunggu beberapa menit supaya mesinnya panas. “And now, time to go to campus, iiiiiihhaaa”, ungkapku senangnya bukan main.

***

Dua jam sudah aku menunggu Putri, namun ia belum juga datang. Aku kirim pesan tak ada balasannya, aku telfon, nggak ada yang mengangkat. Awalnya aku tetap berfikiran bahwa Putri akan datang, karena selama ini Putri tidak pernah ingkar janji setiap kali membuat janji denganku. Tapi, akhirnya aku berfikir lain, mungkin ada suatu hal yang terjadi pada Putri sehingga ia tidak kunjung datang.
Kuberanikan diri untuk datang langsung ke rumah Putri agar tahu bagaimana keadaan Putri yang sebenarnya. Sesampai di rumah Putri, ku ketuk pintunya sembari memanggil Putri, namun tak seorangpun yang membalas panggilanku. Perasaanku mulai tak enak, aku berfikiran ada  hal buruk yang menimpa diri Putri.
Benar saja apa yang aku fikirkan, tiba-tiba salah seorang tetangga Putri memanggilku dan memberitahu kalau Putri kecelakaan ditabrak mobil. Sontak aku terkejut dan langsung bertanya, “Ia dirawat di Rumah Sakit mana bu?”
“Kalau tidak salah, tadi keluarganya bilang dibawa ke Rumah Sakit yang di depan ini dek”, jawab ibu itu.
Tanpa pikir panjang, aku langsung pergi ke rumah sakit itu dan menanyakan ruangan tempat Putri di rawat kepada suster yang sedang piket. Setelah tahu Putri dirawat di ruang UGD, aku berlari menuju ruangan itu dan mencoba untuk masuk. Namun aku tidak diizinkan untuk masuk dan terpaksa menunggu di ruang tunggu.
Ternyata di ruang tunggu juga ada orang tua Putri, aku kemudian bersalaman dan menanyakan keadaan Putri.
“Bagaimana keadaan Putri Om?” tanyaku ingin tahu.
“Sekarang Putri masih dalam penanganan dokter, tulang punggung dan tulang paha bagian kirinya patah, di bagian kepala mengeluarkan darah”, jawab papa Putri terisak menahan tangis.
Akupun tak kuasa menahan air mata, mendengar penjelasan dari papanya Putri. Di dalam hati aku berdo’a “Ya Allah, selamatkanlah Putri dari semua ini, berikanlah kekuatan kepada Putri dan keluarganya melalui musibah ini”.
Selang beberapa menit, keluarlah dokter dari ruangan UGD tersebut, dan memanggil orang tua Putri. Dari kejauhan aku melihat mereka sedang berbicara dengan sangat serius. Perasaanku mulai tak tenang dengan keadaan Putri, aku mulai memikirkan hal terburuk yang akan terjadi pada Putri, dan air mata ku pun mengalir semakin deras.
Rasa ingin tahu yang besar, mendorongku untuk bertanya lagi kepada orangtua putri. “Sekarang bagaimana keadaannya Om”, tanyaku.
“Sebentar lagi akan dilakukan operasi”, jawab papa Putri singkat.
Aku terdiam dan hanya berharap semoga itu adalah jalan terbaik bagi Putri dan ia bisa kembali seperti dulu lagi.

***

Kini Putri dipindahkan ke ruang operasi. Jantungku berdegup sangat cepat, tak henti-hentinya ku mengirimkan do’a untuk orang yang kucintai itu. Aku sungguh tak mau kehilangan Putri, karena dia sangat berarti bagiku. Pintu ruang operasi ditutup sangat rapat dan tak boleh seorangpun yang masuk kedalamnya. Keadaan ini membuatku semakin mencemaskan keadaan Putri.

***

Dua jam berselang, operasi pun selesai. Terlihat seorang dokter keluar dari ruang operasi dan orang tua Putri langsung menanyakan keadaan anaknya.
“Bagaimana keadaan anak saya Dok?”, tanya beliau.
“Alhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar dan sekarang kondisi putri bapak sudah mulai membaik”, jawab dokter itu dengan ekspresi bahagia.
“Alhamdulillah”, ucapku serentak dengan orangtua Putri.
Kami kemudian diizinkan untuk melihat Putri ke dalam ruang operasi tersebut. Kuhanya bisa melihat Putri terbaring lemas, dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Waktu itu, putri belum boleh banyak bicara, tapi aku mencoba memberi Putri  semangat untuk bisa sabar melalui semua ini.
“Put, kamu yang tabah ya, dan kamu harus yakin kalau kamu akan sembuh seperti dulu lagi”, ungkapku menguatkan Putri. Putri hanya membalas perkataanku dengan senyuman kecil dari bibir mungilnya.
“Ron, terima kasih selama ini kamu telah menjadi teman dekat Putri, bahkan om sendiri telah menganggap kamu sebagai anak om sendiri”, ucap papa Putri sambil merangkulku. Aku sangat terkejut mendengar perkataan itu, dan hanya bisa berkata, “Iya om”. Sementara mama Putri terus menggenggam tangan anaknya tersebut.
Keadaan Putri sudah lebih baik dari sebelumnya, aku bermaksud hendak pulang mengganti pakaian. Aku minta izin kepada kedua orangtua Putri, dan tak lupa kepada Putri sendiri. Seperti tadi, Putri tetap membalas setiap perkataanku dengan senyumnya yang tulus.
Aku melangkah meninggalkan ruangan itu dengan berat hati. Karena, meskipun keadaan Putri sekarang sudah lebih baik, tapi tetap saja aku tak bisa tenang dengan keadaan ini. Benar saja apa firasatku, baru saja ku berjalan meniggalkan ruangan itu aku, terdengar suara Om Hendri papanya Putri memanggilku.
“Ron…!”, panggilnya dengan suara lantang.
Aku segera berbalik dan menyahut, “ya om, ada apa?
“Jangan pulang dulu Ron, Putri memanggil-manggil nama kamu Ron”, ungkapnya sedih.
Mendengar itu, aku langsung berlari ke ruangan Putri tadi, dan melihat Putri menangis. Meskipun tidak boleh terlalu banyak bergerak, namun ia mencoba untuk menggapai tanganku dan menyuruhku untuk sedikit membungkuk. Didekatkannya kepalaku ke mulutnya dan pada saat itu dia bisikan sebuah kalimat singkat.
“Jangan tinggalkan aku ron, aku butuh kamu”, ungkapnya lemas.
Aku tersentak dan air mata keluar dengan deras. “Aku akan selalu ada bersamamu Put, kamu jangan khawatir,”ungkapku menghapus kesedihan Putri.
Kemudian yang membuatku lebih kaget lagi saat Putri menanyakan perasaaanku, “Apa yang kamu rasakan saat menjalani hari-hari bersamaku Ron”.
“Aku se..senang Put, aku bahagia bisa kenal denganmu. Hari-hari ku, semua ku lalui dengan penuh warna,” jawabku sedikit terbata.
“Kamu kenapa bertanya begitu Put”, aku berbalik bertanya.
“Nggak Ron, aku cuma ingin tahu aja, aku tidak ingin keberadaanku mebuat orang lain menjadi resah, terganggu dan aku tidak ingin menjadi beban bagi orang lain”, ungkapnya dengan tangisan.
“Put, aku tidak pernah berfikiran selama ini kalau kamu itu membuat aku resah, membuatku terganggu, apalagi beban dalam hidupku. Aku tidak pernah berfikir seperti itu Put, karena….”, jawabku.
Putri pun langsung menyela pembicaraanku yang belum aku selesaikan. “Karena apa Ron”, tanyanya,
Orang tua Putri mulai melihat kepadaku dan berharap aku bisa berkat sejujurnya tentang pa yang aku rasakan. Aku bingung harus berbicara apa, karena ku takut Putri kecewa dengan apa yang akan aku ungkapkan. Tapi, untuk saat ini aku tidak mau lagi bohong dengan perasaanku. Kembali ku dekati telinga Putri, dan pada saat itu aku bisikkan bahwa aku selama ini mencintai Putri.
“Put, sebenarnya selama ini aku sangat mencintaimu. Laki-laki yang selama ini aku ceritakan kepadamu tak lain adalah aku sendiri. Aku tak mampu untuk jujur kepadamu selama ini, karena ku tak ingin kamu kecewa dengan perasaanku ini”, ungkapku sambil mengenggam tangannya.
Putri menatapku sangat lama  sekali, di dalam hati aku berfikir bahwa Putri sangat marah kepadaku. Aku tak berani melihat tatapan Putri karena aku merasa bersalah dengan perasaan yang kumiliki. Kemudian Putri melihat ke arah orang tuanya, dan salah satu dari mereka yaitu mama Putri mulai mendekatiku. Hatiku semakin berkat lain, apakah semua orang yang berada di sini mulai tidak menginginkan keberaaanku.
“Ron, selama ini Putri sering bercerita dengan tante, bahwa ia juga mencintaimu Ron, ungkap mama Putri sembari meraih tanganku.
Sungguh terkejut aku sat itu, kaki ku gemetaran dan tak kuasa ku menahan tangis. “Sungguh tante, apakah tante tidak main-main?, tanyaku meyakinkan tante Sil, mama Putri.
“Tante tidak bercanda Ron, coba saja kamu tanyakan sama Putri”, sahutnya melihat ke arah Putri.
“Apa benar yang  diucapkan mama kamu Put?”, tanyaku ingin tahu.
Putri pun hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku. Melihat anggukan itu, aku sangat bahagia, hatiku berbunga-bunga. Ternyata apa yang kurasakan selama ini, juga dirasakan oleh Putri. Ternyata ketakutanku selama ini, hanyalah fatmorgana dalam hidupku. Aku tak mampu mengungapkan bagaimana perasaan bahagia yang kumiliki saat itu, karena secara langsung kedua orang tua Putri merestui hubungan kami.
Namun tiba-tiba, kebahagiaan itu kembali memudar saat Putri merintih kesakitan. Ia memegang kepalanya yang sedang dibalut dengan perban.
“Kamu kenapa Put”, tanyaku dengan cemas.
“Kepalaku serasa mau pecah Ron, kepala bagian belakangku sakit”, ungkapnya menahan rasa sakit.
Spontan, papa Putri langsung memanggil dokter. Di saat itu, putri mengenggam tanganku dan kembali berbisik di telingaku, “Aku sangat mencintaimu Ron, namamu akan slalu hadir dalam hatiku, menemani setiap perjalanan hidupku”.
Aku membalas bisikan itu, “Aku juga mencintaimu Put, lebih dari yang kamu tahu. Mungkin slama ini kamu tidak mengetahui, tapi kini cintaku telah bersamamu”.
Putri pun tersenyum mendengar perkataan itu. Aku juga tersenyum melihat senyum putri, seakan Putri aka sehat seperti sedia kala.
Tiba-tiba, suasana kembali diselimuti kecemasan. Saat putri  menangis menahan sakit di kepalanya. Papa putri pun belum jua kembali memanggil dokter yang bersangkutan. Alhasil, Putri tak lagi bersuara, tangisnya terhenti, dan kini ia terkulai lemah tak bernyawa di sampingku. Putri kembali menghadap Yang Kuasa, dan meninggalkanku untuk selamanya.
“Putriiiiiiiiiiiiiiiiii…!!!”, teriakku ku tak terima dengan kepergian Putri.
Begitu juga dengan mama Putri, beliau sangat histeris dan sangat tidak bisa menerima hal ini terjadi pada anaknya. Selang beberapa menit, papa putrid datang dengan seorang dokter. Melihat kami sedang menangis, papa Putri langsung menghampiri tante Sil, “Kenapa ma”, tanyanya. “Putri pa, Putri telah meninggalkan kita semua”, ungkpanya dengan penuh kesedihan. Om Hendri pun mengamuk melihat keadaan ini. Beliau memaki-maki dokter yang susah untuk ditemui.
“Sudah pa, ini semua sudah terjadi”, ucap tante Sil menenangkan Om Hendri.
Om Hendri menghampiri Putri dan mengusap wajah anaknya nan cantik. “Putri, kenapa kamu tinggalkan papa sama mama nak?”, tanya Om Hendri seakan pertanyaannya akan mendapat jawaban.

***

Proses pemakaman Putri berlangsung dengan suasana penuh haru. Orang-orang yang selama ini bersama Putri sangat merasa kehilangan, termasuk aku yang merasa kehilangan hal terindah yang pernah singgah dalam hidupku. Tak seorangpu yang tidak mengeluarkan air mata, begitu pahit melepas kepergian Putri untuk selamanya. “Selamat jalan Putri, semoga jalanmu terang di alam sana”.

***

Kini kulalui hari-hariku tanpa Putri. Sedih memang kehilangan orang yang dicintai, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah takdir dari Tuhan, mempertemukan cintaku dengan Putri, saat ia harus kembali kepada-Nya. Dalam diam ku berkata, ”Memilikimu beberapa saat kebahagiaan tersendiri bagiku, meskipun ku tak mampu merajut kebahagiaan bersamamu dalam ikatan cinta. Kamu adalah hal terindah dalam hidupku, yang tak kan pernah kulupakan. Aku bersyukur bisa memilikimu, dalam perintihan terakhirmu kau bisikan kata indah di telingaku bahwa namaku akan slalu ada di hatimu menemani setiap perjalanan hidupmu”.
***
By.Rahmat Ilham


6 komentar:

  1. hmm... kerenn bget cerpennya.. bikin terharu+merinding bacanya..
    sLamat buatt caam... sukses terus y bro ^^

    by. adiella efz

    BalasHapus
  2. Makasih la dah baca cerpen caam,,
    maksih juga motivasinya..
    heehehe...

    BalasHapus
  3. bgus ceritanya bg... tapi kepanjangan pegel bacanya... knp ga bikin part 1 part 2 gt..

    BalasHapus
  4. hehehe,,
    mksih dah bca Maisya Yetti...
    hmmm, mksih srannya,, smoga bs dperbaiki untuk selanjutnya,,
    hhehehe..
    :)

    BalasHapus
  5. bagus... tapi revisinya mesti lebih teliti lagi.. beberapa ketikan ada kesalahan kecilnya, and bahasanya sedikit diperlues biar lebih santai.. ^_^

    BalasHapus