Senin, 17 Desember 2012

Jadi Tukang Pangkas Dadakan



Jalanan pagi menuju kampus yang berada di depan rumah kos-kosan ku terlihat ramai sekali. Setiap mahasiswa yang lewat semua mengenakan baju hitam putih, karena hari ini ujian akhir semester. Ada yang terlihat santai dan ada pula dengan wajah cemas berjalan menuju kampus untuk mengikuti ujian hari ini. Sekali-sekali terdengar ucapan dari mulut mahasiswa itu “mudah-mudahan dosennya nggak galak saat mengawas ujian, amiin”. Aku tertawa kecil mendengar ucapan itu, teringat masa kuliah semester-semester dulu, (kebetulan mata kuliah aku udah habis, hehehe…).
Aku melihat suasana ini dengan segelas kopi panas dan sepotong roti tawar. Berfikir kalau aku masih seperti mereka yang harus mengikuti ujian dengan baju hitam putih dan rambut yang pendek. Huh, waktu memang tak terasa terus berjalan, padahal kalau diingat-ingat aku masuk kuliah baru sekitar satu tahun yang lalu, tapi kenyataannya waktu yang telah kulalui lebih kurang sudah tiga setengah tahun.
Kini jalanan di depan kos-kosan ku sudah terlihat sepi, karena sekarang sudah pukul 07.10, artinya ujian sudah di mulai. Meskipun masih ada yang jalan di depan kosan ku, itupun mahasiswa ugal-ugalan yang sering terlambat.
“Bang, bisa tolongin potong rambut ngaak bang?”, tiba-tiba seorang mahasiswa yang tak ku kenal minta tolong kepadaku dengan gunting di tangannya.
“Maaf, aku ngaak bisa motong rambut”, tolakku.
“Ngaak apa-apa bang, nanti mau diperbaiki juga kok”, paksanya kepadaku.
Dia terus memaksaku untuk menolong memotong rambutnya. Sekarang ia mengambil tanganku dan memberikan gunting yang ia pegang tadi ke tanganku. “Tolong ya bang”.
“Emang kenapa, kok motong rambutnya baru sekarang?” tanyaku ingin tahu.
“Kalau rambut panjang, nggak bisa ikut ujian bang”, jawabnya memelas.
“Ooow gitu, tapi bang nggak bisa motong rambut”, ungkapku sekali lagi meyakinkannya.
“Biar aja bang, yang penting udah dipotong”, ujar mahasiswa yang tak ku kenal itu.
“Ya udah, tapi bang ngaak tanggung jawab ya, kalau nanti rambutnya jelek”
“Ya bang”, jawabnya sedikit lega.
Akupun memotong rambutnya dengan cemas dan penuh keraguan. “Krreeeeg…kreeeeg”, aku pun memotong rambutnya. Hahaha, aku tertawa kecil melihat rambut mahasiswa tersebut sudah seperti rambut Dora The Explorer. Aku pun menyuruhnya untuk berkaca, dan ia pun juga ikut tertawa.
“Makasih ya bang”, ucapnya dengan wajah agak masam.
“Ya, ya” jawabku tertawa.
Ia pun langsung berlari menuju kampus dengan potongan rambut yang lucu itu. Hahaha, ada-ada saja. Ini pengalaman pertamaku jadi tukang pangkas dadakan.

Sabtu, 01 Desember 2012

Kau dan Aku


Ketika perasaan mendapat sebuah kepastian
Jawaban dari semua keraguan
Awan tak lagi mampu menghalangi mentari
Menyinari penghuni hati

Tersirat rona kebahagiaan
Yang seolah akan bergayut abadi
Hadir di setiap cerita cinta
Antara kau dan aku

Jika Ajal Datang Menjemput


Bagaimana jika saat ini secara tiba-tiba malaikat maut datang untuk mencabut nyawa kita. Apakah kita telah siap untuk menghadapai kematian tersebut…?
Ingat…!
Kita sebagai manusia pasti pernah melakukan perbuatan dosa, apakah itu dosa kecil ataupun dosa besar. Baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja.
Apakah ada penyesalan dari dalam diri kita atas dosa yang pernah kita lakukan…?
Seberapa seringkah kita memohon ampun kepada Allah SWT…?
Sudah cukupkah amal ibadah yang kita lakukan untuk menggiring kita ke tempat yang lebih baik…?
Begitu banyak pertanyaan yang harus kita jawab untuk menghadapi kematian tersebut. Karena kematian tak pernah pandang bulu, tidak pernah memandang usia, semua pasti akan mengalami kematian. Bisa saja detik ini, hari ini, atau mungkin besok dan hari-hari selanjutnya.
Oleh karena itu marilah kita membekali diri kita dengan amal ibadah yang sebanyak-banyaknya, agar kita siap menghadapi kematian tersebut dan menuju tempat yang lebih baik. Kita yang menentukan sendiri, apakah Syurga atau Neraka yang akan menjadi tempat kita nantinya.

Do'a Tukang Becak (Part I)


“Kak, bapak terlihat sangat sedih semenjak tahu kalau kita tidak lulus SNMPTN. Akhir-akhir ini bapak tidak seperti biasanya, bapak sudah jarang menarik becak. Bapak terlihat tidak bersemangat lagi kak.  Sekarang apa yang harus kita lakukan?”, ucap Boni sedih.
“Santai aja Bon, mungkin belum saatnya kita kuliah saat ini. Lagian bapak juga butuh istirahat, mungkin saja bapak kelelahan makanya tidak narik becak”, respon Roki lagi-lagi dengan gayanya yang dingin.
Boni berjalan meninggalkan kakaknya, kini ia menuju kamar bapaknya dengan maksud untuk mengajak beliau untuk berbicara. Ketika akan membuka pintu kamar, Boni mendengar suara tangisan yang berasal dari dalam kamar bapaknya tersebut. Diam-diam Boni menguping dari luar kamar tersebut. Dan terdengarlah rangkaian do’a,
“Ya Allah, apakah ini masih bagian dari cobaan hidup yang Engkau berikan kepada hamba Ya Allah....? Apakah hamba tidak layak untuk memiliki anak dengan pendidikan yang lebih baik dari hamba…? Hamba ingin mereka memiliki nasib yang lebih baik dari hamba yang hanya sebagai seorang tukang becak. Hamba tidak ingin mereka hidup susah seperti hamba Ya Allah. Tunjukkilah hamba Ya Allah, Berikanlah hidayah-Mu kepada hamba. Ya Allah Ya Rahman, jika memang belum saatnya keluarga hamba memiliki pendidikan yang tinggi. Jadikanlah anak-anak hamba sebagai anak yang shaleh, jangan Engkau biarkan mereka berada di jalan yang sesat Ya Allah”.
Boni pun meneteskan air mata mendengar do’a yang baru saja ia dengar dari mulut bapaknya. Sungguh ia tak ingin lagi membuat hati bapaknya menadi sedih. Segera ia masuk kamar dan mengunci diri di dalamnya. Ia merenungi nasib dirinya untuk masa yang akan datang.
“Apa yang harus ku lakukan agar aku bisa lebih baik dari ayah, agar aku bisa membahagiakan Ayah? Ibu, andai saja saat ini ibu hadir di tengah kegelisahan kami, tentu kami akan sangat terbantu. Kami semua merindukan Ibu”. Ungkap Boni sambil memandangi foto ibunya yang telah meninggal dunia akibat kecelakaan.
Kemudian Boni bangkit dan menyemangatinya sendiri, “aku pasti bisa lebih baik dari ayah…! Aku pasti bisa…!
            Sementara Roki, hanya duduk bermalas-malasan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya untuk masa yang akan datang.
“Bon, waktu masih panjang, kenapa sekarang harus susah-susah memikirkan masa depan. Nikmati masa remaja ini, gunakan kebebasan ini untuk mencari kenikmatan”, tukas Roki.
Boni terlihat sedikit marah, “kak, kita yang akan menentukan masa depan kita sendiri. Jika itu mau kakak, silahkan saja ikuti kemauan kakak itu”.
“Hahaha, keadaan membuatmu semakin dewasa Bon”, ejek Roki.
“Terserah kak”, berontak Boni.

Bersambung…